Sumber :Azimah Rahayu
Entah mengapa, pagi ini saya teringat beberapa orang yang dengannya saya intensif berdialog maya. Dan begitu saja, saya langsung mengetik sebuah nama di kolom search, hingga terpampang semua email yang pernah saya peroleh dari pemilik nama itu, satu halaman penuh.
Nama itu adalah Hernowo, yang saat ini menjadi CEO dan Instruktur di kelas menulis Mizan Learning Center. Beberapa waktu yang lalu, saya pernah cukup intensif berdiskusi melalui email dengan penulis lebih dari dua puluh buku tentang keterampilan membaca dan menulis itu. Jika masyarakat pada umumnya mengagumi buku-bukunya dan prestasinya, saya justru paling appreciate pada satu hal kecil yang saya temukan pada beliau ketika kami masih sering berbagi dulu, dan baru saja saya temukan lagi.
Hal kecil itu adalah fakta bahwa beliau selalu membalas email saya. Hal kecil lainnya adalah, email jawaban Mas Her (demikian saya memanggil beliau) selalu jauh lebih panjang dari email yang saya kirimkan. Sungguh dulu saya sangat terheran-heran dengan semua itu, hingga saya tak sanggup menahan diri untuk bertanya, “Mengapa begitu? Tidakkah kesibukan beliau yang luar biasa menjadi kendala untuk menulis email sepanjang itu dan kepada banyak orang? Tidakkah beliau ‘rugi’?”
Pertanyaan itu saya lontarkan, mengingat saya yang tidak sesibuk beliau, selalu ‘kalang kabut’ untuk dapat membalasi email-email yang saya terima. Saya selalu mendahulukan email yang bisa saya jawab dengan satu atau dua baris kalimat saja dan menyisihkan email yang memerlukan jawaban panjang untuk saya jawab kemudian (kemudian di sini bisa berarti berminggu-minggu bahkan bulanan).
Jawaban Mas Her membuat saya makin tertegun-tegun. “Sungguh ini menyenangkan. Saya kira hanya dengan bertukar pikiranlah sesuatu yang baru itu bisa dimunculkan ya. Lewat beginian inilah saya sebenarnya belajar.”
Kalimat itu lebih lanjut mendapatkan penjelasannya ketika kami bertemu di darat dalam beberapa kesempatan berikutnya. Menurut Mas Her, pertama, justru dengan memberi, dengan berbagi, dengan bertukar pikiran, beliau pada saat yang sama mendapatkan banyak hal: masukan, pemahaman dan ide-ide baru. Jadi sesungguhnya tidak ada kata rugi atas waktu, tenaga dan pikiran yang beliau habiskan dengan membalasi sekian email itu. Kedua, membalas email, berkomunikasi, adalah salah satu media silaturahmi. Pernahkah kita mendengar ruginya menjalin silaturahmi? Apalagi, beliau tidak pernah merasa tertekan atau terbebani dengan semua itu. “Saya senang melakukannya. Saya cinta menulis, termasuk menulis email.”
Ketika saya membaca ulang email-email panjang Mas Her. Ketika saya menuliskan kalimat-kalimat di atas, berbagai hal meluncur deras ke dalam benak saya, seakan memberikan dalil dan teori atas semua yang disampaikan Mas Her.
Sesungguhnya generasi Rabbani adalah mereka yang belajar dan kemudian mengajarkannya, membaginya.
Perumpamaan orang yang mengifaqkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (Al-Baqoroh:2:261)
“Orang –orang terbaik di antara kamu adalah mereka yang belajar dan mengajarkan al-Qur'an” Demikian sebuah hadits nabi yang pernah saya baca.
Saya juga teringat Utsman Bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf, yang semakin banyak mereka ber-infaq, harta mereka pada saat yang sama bertambah jauh lebih banyak dari yang pernah mereka berikan.
“Jalinlah silaturahmi niscaya akan engkau dapatkan pintu-pintu rezeki,” ini sebuah kata bijak dari para ulama, yang dalam wawasan kontemporer disebut dengan networking.
Saya tertegun. Semua hal di atas, menuntun jemari saya untuk menuliskan kalimat terakhir. Memberilah, maka engkau akan mendapatkan lebih banyak.
Entah mengapa, pagi ini saya teringat beberapa orang yang dengannya saya intensif berdialog maya. Dan begitu saja, saya langsung mengetik sebuah nama di kolom search, hingga terpampang semua email yang pernah saya peroleh dari pemilik nama itu, satu halaman penuh.
Nama itu adalah Hernowo, yang saat ini menjadi CEO dan Instruktur di kelas menulis Mizan Learning Center. Beberapa waktu yang lalu, saya pernah cukup intensif berdiskusi melalui email dengan penulis lebih dari dua puluh buku tentang keterampilan membaca dan menulis itu. Jika masyarakat pada umumnya mengagumi buku-bukunya dan prestasinya, saya justru paling appreciate pada satu hal kecil yang saya temukan pada beliau ketika kami masih sering berbagi dulu, dan baru saja saya temukan lagi.
Hal kecil itu adalah fakta bahwa beliau selalu membalas email saya. Hal kecil lainnya adalah, email jawaban Mas Her (demikian saya memanggil beliau) selalu jauh lebih panjang dari email yang saya kirimkan. Sungguh dulu saya sangat terheran-heran dengan semua itu, hingga saya tak sanggup menahan diri untuk bertanya, “Mengapa begitu? Tidakkah kesibukan beliau yang luar biasa menjadi kendala untuk menulis email sepanjang itu dan kepada banyak orang? Tidakkah beliau ‘rugi’?”
Pertanyaan itu saya lontarkan, mengingat saya yang tidak sesibuk beliau, selalu ‘kalang kabut’ untuk dapat membalasi email-email yang saya terima. Saya selalu mendahulukan email yang bisa saya jawab dengan satu atau dua baris kalimat saja dan menyisihkan email yang memerlukan jawaban panjang untuk saya jawab kemudian (kemudian di sini bisa berarti berminggu-minggu bahkan bulanan).
Jawaban Mas Her membuat saya makin tertegun-tegun. “Sungguh ini menyenangkan. Saya kira hanya dengan bertukar pikiranlah sesuatu yang baru itu bisa dimunculkan ya. Lewat beginian inilah saya sebenarnya belajar.”
Kalimat itu lebih lanjut mendapatkan penjelasannya ketika kami bertemu di darat dalam beberapa kesempatan berikutnya. Menurut Mas Her, pertama, justru dengan memberi, dengan berbagi, dengan bertukar pikiran, beliau pada saat yang sama mendapatkan banyak hal: masukan, pemahaman dan ide-ide baru. Jadi sesungguhnya tidak ada kata rugi atas waktu, tenaga dan pikiran yang beliau habiskan dengan membalasi sekian email itu. Kedua, membalas email, berkomunikasi, adalah salah satu media silaturahmi. Pernahkah kita mendengar ruginya menjalin silaturahmi? Apalagi, beliau tidak pernah merasa tertekan atau terbebani dengan semua itu. “Saya senang melakukannya. Saya cinta menulis, termasuk menulis email.”
Ketika saya membaca ulang email-email panjang Mas Her. Ketika saya menuliskan kalimat-kalimat di atas, berbagai hal meluncur deras ke dalam benak saya, seakan memberikan dalil dan teori atas semua yang disampaikan Mas Her.
Sesungguhnya generasi Rabbani adalah mereka yang belajar dan kemudian mengajarkannya, membaginya.
Perumpamaan orang yang mengifaqkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (Al-Baqoroh:2:261)
“Orang –orang terbaik di antara kamu adalah mereka yang belajar dan mengajarkan al-Qur'an” Demikian sebuah hadits nabi yang pernah saya baca.
Saya juga teringat Utsman Bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf, yang semakin banyak mereka ber-infaq, harta mereka pada saat yang sama bertambah jauh lebih banyak dari yang pernah mereka berikan.
“Jalinlah silaturahmi niscaya akan engkau dapatkan pintu-pintu rezeki,” ini sebuah kata bijak dari para ulama, yang dalam wawasan kontemporer disebut dengan networking.
Saya tertegun. Semua hal di atas, menuntun jemari saya untuk menuliskan kalimat terakhir. Memberilah, maka engkau akan mendapatkan lebih banyak.
No comments:
Post a Comment